“... setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi ....” – UUD 1945 Pasal 28F
Dewasa
ini perkembangan teknologi terjadi begitu cepat, informasi menjadi
salah satu kebutuhan bagi semua orang, tidak terkecuali bagi masyarakat
Indonesia. Informasi tersebut didapatkan dengan mudah karena disebarkan
melalui berbagai media, mulai dari media berita konvensional, media
berita elektronik dan Internet, hingga media jejaring sosial.
Bahkan,
saat ini penyebaran informasi melalui media Internet, khususnya
jejaring sosial, tak jarang menjadi lebih kencang dari apa pun sehingga
suatu kabar dan informasi dapat menyebar dan diterima oleh masyarakat
dalam hitungan detik saja, tidak lagi seperti dulu ketika orang harus
mendengarkan radio atau menunggu surat kabar terbit keesokannya.
Di
Indonesia sendiri, tingkat penggunaan media jejaring sosial dapat
dikatakan salah satu yang terbesar di dunia dengan 43,6 juta pengguna
Facebook dan 19,5 juta pengguna Twitter. Dengan banyaknya masyarakat
yang memiliki akun jejaring sosial, akses mereka terhadap informasi
dapat dibilang sangat mudah karena selain hampir setiap media berita
menyebarkan kabar terkininya melalui jejaring sosial, saat ini
berita/informasi dapat juga di-generate dengan mudah oleh setiap individu.
Sayangnya,
dampak negatif dari berbagai kemudahan tersebut adalah informasi yang
cenderung disampaikan tanpa filter. Setiap orang bisa menjadi informan.
Ketika informasi itu menyebar dengan cepat tanpa adanya sebuah
identifikasi yang khusus, masyarakat dengan cepat pula bisa berasumsi
mengenai apa yang sedang terjadi melalui informasi yang didapatnya
tersebut.
Belum
lagi, isi berita sekarang lebih banyak mempertontonkan kebobrokan
negeri ini. Tidak heran apabila semakin banyak masyarakat yang pesimis
mengenai masa depan bangsa ini. Padahal, tidak selalu yang
dipertontonkan itu adalah keseluruhan potret dari suatu peristiwa atau
kejadian.
Membaca Cerdas
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa beberapa media tengah dilatarbelakangi
kepentingan. Ada kepentingan baik, namun ada juga yang buruk dan
merugikan. Tak jarang kepentingan tersebut adalah untuk menyesatkan
masyarakat dan membentuk persepsi negatif serta opini publik yang tidak
benar.
Bagaimana
caranya agar kita dapat menghindari berita yang sarat akan kepentingan?
Filterisasi menjadi salah satu jawabannya. Filterisasi berita bisa
dilakukan dengan cara yang paling sederhana sekali pun. Misalnya, ketika
ada berita yang memuat data-data, kita bisa cross-check langsung data-data tersebut via Google. Cukup mudah bukan?
Selain
bersikap selektif atau cerdas dalam memilih, membaca cerdas juga salah
satu kemampuan yang perlu dimiliki sekarang ini. Bayangkan jika kita
mesti terus menerus menelan begitu saja berita yang disajikan, kita akan
begitu mudah terpengaruh dan terbawa keadaan yang (misalnya) di-set hanya untuk kepentingan beberapa pihak.
Apalagi
saat ini sebuah stasiun televisi dapat dikuasai secara perorangan. Hal
ini dapat disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan
tertentu, baik untuk kepentingan banyak orang atau golongan, kepentingan
pribadi, maupun kepentingan politik seperti menaikkan atau menurunkan
citra seseorang. Berita yang kurang berimbang saat ini dipercaya sebagai
salah satu indikator utama adanya kepentingan tersebut.
Fenomena tersebut di atas sebenarnya cukup ironis. Dalam bukunya yang berjudul “The Elements of Journalism”, Bill Kovach mengungkapkan bahwa salah satu elemen jurnalistik adalah “It must keep the news comprehensive and proportional”. Hal
ini berarti sudah seharusnya berita itu bersifat komprehensif dan
proporsional agar isi berita tetap netral dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Senada
dengan yang disampaikan Kovach, Ina Ratna Mariani June Kuncoro pun
mengungkapkan bahwa salah satu etika dalam penulisan yang baik adalah
berita yang berimbang. Semua ini bisa dilakukan ketika informasi dapat
dikuasai.
Sebenarnya,
masalah seperti ini sudah diidentifikasi oleh pemerintah dan insan pers
jauh-jauh hari. Berprinsipkan menjunjung tinggi asas demokrasi,
Pemerintah telah berkomitmen untuk memberikan kebebasan bagi pers
sekaligus memberikan koridor serta rambu-rambu yang mengawal kebebasan
tersebut agar tidak menjadi kebebasan yang kebablasan.
Rambu-rambu
tersebut tertuang dalam kode etik jurnalistik. Kode etik ini sangat
penting peranannya dalam memenuhi salah satu hak azazi manusia, yaitu
hak untuk memperoleh informasi yang benar (UUD 1945 Pasal 28 F mengenai
Hak Berkomunikasi). Di samping kode etik jurnalistik, Pemerintah juga
mengesahkan UU No.40 Tahun 1999 yang mengatur segala hal tentang Pers.
Media
merupakan salah satu pilar penting negara sehingga jangan sampai media
kehilangan simpati masyarakat demi predikat media teraktual tapi
tidak akurat. Media tidak boleh melupakan filterisasi dengan
mengatasnamakan aktualitas sebuah berita. Sudah seharusnya kode etik
jurnalistik tidak dianggurkan karena kode etik tersebut bisa menjadi
salah satu titik terang media dalam menyebarkan informasi.
Negara Dewasa dan Masyarakat Cerdas
Sebagai
masyarakat, sudah saatnya kita bisa lebih cerdas dan dewasa dalam
menyikapi arus informasi yang datang terus menerus. Kuncinya, harus
tetap kritis dan jangan mudah menyimpulkan. Jangan juga terlampau
pesimis. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka secara tidak langsung
kita sebagai individu sedang berkontribusi membangun sebuah masyarakat
yang lebih dewasa dan negara dewasa dalam konteks yang lebih luas.
Di
samping itu, kita juga dapat secara aktif membangun atmosfer yang
kondusif dan mewarnai Indonesia dengan informasi yang positif. Caranya
tidaklah sulit. Kita bisa memanfaatkan berbagai media berbasiskan
teknologi informasi dan Internet yang sudah sangat kita kenal untuk
melakukannya.
Sebagai
contoh, saat ini sudah ada setidaknya satu komunitas di dunia maya yang
menyebarkan informasi dan berita positif mengenai Indonesia, yaitu Good
News From Indonesia (GNFI). Inisiatif dan tekad seperti ini merupakan
sesuatu yang patut diapresiasi karena di tengah keterpurukan imej
negara di mata rakyatnya sendiri, ada sekelompok orang yang masih
bangga ber-Indonesia dan ingin memperbaiki citra negatif tersebut.
Kita
pun bisa ikut menyebarkan informasi yang positif dan bermanfaat via
akun jejaring sosial kita pribadi. Misalnya saja, dengan follow akun Twitter-nya GNFI, yaitu @GNFI, dan kemudian re-tweet,
maka secara tidak langsung kita sedang turut serta menyebarkan virus
positif untuk membangun kebanggan khalayak luas terhadap Indonesia. Hal
positif juga dapat dilakukan melalui tulisan, baik itu yang dimuat di blog maupun media massa.
Ibarat bumi yang sedang dilanda krisis lingkungan sehingga segala sesuatu dewasa ini selalu berkonsep eco dan green,
maka sudah saatnya Indonesia pun diwarnai oleh berita dan informasi
yang “hijau”. Berita “hijau” artinya berita atau informasi yang memuat
intensi untuk memperbaiki, meremajakan, dan tidak memperburuk atmosfer
bangsa saat ini.
Menjadi
lebih cerdas dan dewasa dalam menanggapi informasi/berita serta turut
menyebarkan berita “hijau”, setidaknya itulah yang kita bisa lakukan
secara individu sebagai manifestasi cinta terhadap tanah air dan
kontribusi dalam membangun negara yang lebih cerdas dan dewasa.
*telah diterbitkan di fokal.info rubrik sosial edisi 28 :)
*telah diterbitkan di fokal.info rubrik sosial edisi 28 :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar