Senin, 24 September 2012

Berita “Hijau” Bagi Indonesia

“... setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi ....” – UUD 1945 Pasal 28F

Dewasa ini perkembangan teknologi terjadi begitu cepat, informasi menjadi salah satu kebutuhan bagi semua orang, tidak terkecuali bagi masyarakat Indonesia. Informasi tersebut didapatkan dengan mudah karena disebarkan melalui berbagai media, mulai dari media berita konvensional, media berita elektronik dan Internet, hingga media jejaring sosial.
Bahkan, saat ini penyebaran informasi melalui media Internet, khususnya jejaring sosial, tak jarang menjadi lebih kencang dari apa pun sehingga suatu kabar dan informasi dapat menyebar dan diterima oleh masyarakat dalam hitungan detik saja, tidak lagi seperti dulu ketika orang harus mendengarkan radio atau menunggu surat kabar terbit keesokannya.

Di Indonesia sendiri, tingkat penggunaan media jejaring sosial dapat dikatakan salah satu yang terbesar di dunia dengan 43,6 juta pengguna Facebook dan 19,5 juta pengguna Twitter. Dengan banyaknya masyarakat yang memiliki akun jejaring sosial, akses mereka terhadap informasi dapat dibilang sangat mudah karena selain hampir setiap media berita menyebarkan kabar terkininya melalui jejaring sosial, saat ini berita/informasi dapat juga di-generate dengan mudah oleh setiap individu.


Sayangnya, dampak negatif dari berbagai kemudahan tersebut adalah informasi yang cenderung disampaikan tanpa filter. Setiap orang bisa menjadi informan. Ketika informasi itu menyebar dengan cepat tanpa adanya sebuah identifikasi yang khusus, masyarakat dengan cepat pula bisa berasumsi mengenai apa yang sedang terjadi melalui informasi yang didapatnya tersebut.
Belum lagi, isi berita sekarang lebih banyak mempertontonkan kebobrokan negeri ini. Tidak heran apabila semakin banyak masyarakat yang pesimis mengenai masa depan bangsa ini. Padahal, tidak selalu yang dipertontonkan itu adalah keseluruhan potret dari suatu peristiwa atau kejadian.

Membaca Cerdas
Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa media tengah dilatarbelakangi kepentingan. Ada kepentingan baik, namun ada juga yang buruk dan merugikan. Tak jarang kepentingan tersebut adalah untuk menyesatkan masyarakat dan membentuk persepsi negatif serta opini publik yang tidak benar.
Bagaimana caranya agar kita dapat menghindari berita yang sarat akan kepentingan? Filterisasi menjadi salah satu jawabannya. Filterisasi berita bisa dilakukan dengan cara yang paling sederhana sekali pun. Misalnya, ketika ada berita yang memuat data-data, kita bisa cross-check langsung data-data tersebut via Google. Cukup mudah bukan?

Selain bersikap selektif atau cerdas dalam memilih, membaca cerdas juga salah satu kemampuan yang perlu dimiliki sekarang ini. Bayangkan jika kita mesti terus menerus menelan begitu saja berita yang disajikan, kita akan begitu mudah terpengaruh dan terbawa keadaan yang (misalnya) di-set hanya untuk kepentingan beberapa pihak.

Apalagi saat ini sebuah stasiun televisi dapat dikuasai secara perorangan. Hal ini dapat disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan banyak orang atau golongan, kepentingan pribadi, maupun kepentingan politik seperti menaikkan atau menurunkan citra seseorang. Berita yang kurang berimbang saat ini dipercaya sebagai salah satu indikator utama adanya kepentingan tersebut.
Fenomena tersebut di atas sebenarnya cukup ironis. Dalam bukunya yang berjudul “The Elements of Journalism”, Bill Kovach mengungkapkan bahwa salah satu elemen jurnalistik adalah “It must keep the news comprehensive and proportional”. Hal ini berarti sudah seharusnya berita itu bersifat komprehensif dan proporsional agar isi berita tetap netral dan dapat dipertanggungjawabkan.
Senada dengan yang disampaikan Kovach, Ina Ratna Mariani June Kuncoro pun mengungkapkan bahwa salah satu etika dalam penulisan yang baik adalah berita yang berimbang. Semua ini bisa dilakukan ketika informasi dapat dikuasai.
Sebenarnya, masalah seperti ini sudah diidentifikasi oleh pemerintah dan insan pers jauh-jauh hari. Berprinsipkan menjunjung tinggi asas demokrasi, Pemerintah telah berkomitmen untuk memberikan kebebasan bagi pers sekaligus memberikan koridor serta rambu-rambu yang mengawal kebebasan tersebut agar tidak menjadi kebebasan yang kebablasan.

Rambu-rambu tersebut tertuang dalam kode etik jurnalistik. Kode etik ini sangat penting peranannya dalam memenuhi salah satu hak azazi manusia, yaitu hak untuk memperoleh informasi yang benar (UUD 1945 Pasal 28 F mengenai Hak Berkomunikasi). Di samping kode etik jurnalistik, Pemerintah juga mengesahkan UU No.40 Tahun 1999 yang mengatur segala hal tentang Pers.

Media merupakan salah satu pilar penting negara sehingga jangan sampai media kehilangan simpati masyarakat demi predikat media teraktual tapi tidak akurat. Media tidak boleh melupakan filterisasi dengan mengatasnamakan aktualitas sebuah berita. Sudah seharusnya kode etik jurnalistik tidak dianggurkan karena kode etik tersebut bisa menjadi salah satu titik terang media dalam menyebarkan informasi.

Negara Dewasa dan Masyarakat Cerdas
Sebagai masyarakat, sudah saatnya kita bisa lebih cerdas dan dewasa dalam menyikapi arus informasi yang datang terus menerus. Kuncinya, harus tetap kritis dan jangan mudah menyimpulkan. Jangan juga terlampau pesimis. Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka secara tidak langsung kita sebagai individu sedang berkontribusi membangun sebuah masyarakat yang lebih dewasa dan negara dewasa dalam konteks yang lebih luas.
Di samping itu, kita juga dapat secara aktif membangun atmosfer yang kondusif dan mewarnai Indonesia dengan informasi yang positif. Caranya tidaklah sulit. Kita bisa memanfaatkan berbagai media berbasiskan teknologi informasi dan Internet yang sudah sangat kita kenal untuk melakukannya.

Sebagai contoh, saat ini sudah ada setidaknya satu komunitas di dunia maya yang menyebarkan informasi dan berita positif mengenai Indonesia, yaitu Good News From Indonesia (GNFI). Inisiatif dan tekad seperti ini merupakan sesuatu yang patut diapresiasi karena di tengah keterpurukan imej negara di mata rakyatnya sendiri, ada sekelompok orang yang masih bangga ber-Indonesia dan ingin memperbaiki citra negatif tersebut.

Kita pun bisa ikut menyebarkan informasi yang positif dan bermanfaat via akun jejaring sosial kita pribadi. Misalnya saja, dengan follow akun Twitter-nya GNFI, yaitu @GNFI, dan kemudian re-tweet, maka secara tidak langsung kita sedang turut serta menyebarkan virus positif untuk membangun kebanggan khalayak luas terhadap Indonesia. Hal positif juga dapat dilakukan melalui tulisan, baik itu yang dimuat di blog maupun media massa.
Ibarat bumi yang sedang dilanda krisis lingkungan sehingga segala sesuatu dewasa ini selalu berkonsep eco dan green, maka sudah saatnya Indonesia pun diwarnai oleh berita dan informasi yang “hijau”. Berita “hijau” artinya berita atau informasi yang memuat intensi untuk memperbaiki, meremajakan, dan tidak memperburuk atmosfer bangsa saat ini.

Menjadi lebih cerdas dan dewasa dalam menanggapi informasi/berita serta turut menyebarkan berita “hijau”, setidaknya itulah yang kita bisa lakukan secara individu sebagai manifestasi cinta terhadap tanah air dan kontribusi dalam membangun negara yang lebih cerdas dan dewasa.

*telah diterbitkan di fokal.info rubrik sosial edisi 28 :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar