“I
Ni Ini, Ru Ma tambah H Rumah, Bu Di Budi , ini rumah budi” – Sepenggal kalimat
di buku kelas 6 SDBelajar Membaca dan Menulis
Sekarang coba kita flashback dengan pelajaran SD yang kita terima dulu. Seakan ejaan
yang kita pelajari itu hampir sia-sia. Toh
juga kita menyingkat-nyingkat kata. Pada akhirnya juga tanpa kita sadari kita
tengah menjadi koruptor koruptor junior . Koruptor yang hobi dan nyaman mengorupsi
bahasa .
Masih jelas terekam di otak penulis
tentang kalimat yang beraromakan pengejaan di atas. Dahulu kita pasti merasa
bangga ketika telah mengakhiri ejaan itu dengan lengkap . Apalagi dibandingkan
dengan teman lain yang masih gagap dalam berbicara. Serasa siswa yang paling
pintar deh di kelas pada waktu itu. Namun
sekarang, masihkah ada kebanggaan kita
ketika mengakhiri setiap kalimat dengan lengkap seperti dulu?
Perlu untuk kita ketahui, bahwa bukan dengan perecanaan yang suam-suam kuku
dinas pendidikan menciptakan kurikulum untuk dapat membuat anak-anak sekolah
dasar mampu membaca. Namun, ironis ketika Mendiknas M.Nuh menuturkan bahwa
faktanya sekarang nilai UN sampai dengan tingkat SMA masih lebih tinggi diraih
siswa pada mata pelajaran Bahasa Inggris dibandingkan Bahasa Indonesia di Kompas( 01/06/2011).
Fakta selanjutnya yang sangat dekat
dengan kita, coba luangkan waktu sebentar untuk mengecek sms yang ada di
telefon genggam teman-teman sekarang atau di media jejaring sosial sekarang.
Adakah yang berbeda? Mungkin dari segi penulisan kata? Yup, kata kata “km lg dmn?”
, “Q dikmps skrg” , ‘udh ada dsen blm?” bla bla bla.
Perlahan degradasi (baca : penurunan
kualitas) telah menyentuh aspek bahasa kita . Sedikit demi sedikit terdapat
pengurangan kata dimana-mana. Yang menjadi “yg”, dari menjadi “dr”dan kampus
menjadi “kmps”.
Jika kita ingin mengulik permasalahan ini banyak hal yang dapat melatarbelakangi,contohnya
kita lebih memilih untuk menyingkat kata, ketimbang mengirim 2 layar sms sekaligus.
Biaya pengiriman sms menjadi faktor utama dalam alasan kali ini. Padahal bukan
tidak mungkin terjadinya miss
communication di dalam penggunaan bahasa yang katanya gaul itu.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 lalu
pergerakan pemuda se Indonesia dengan lantang dan berani menyatakan sumpahnya,
“Kami putera puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan , Bahasa
Indonesia!”. Pemuda terdahulu telah bersumpah, teman ! Terus kita sebagai
pemuda zaman sekarang melakukan? Melanggar sumpah itu?
Jelas dong, bahasa yang kita singkat selama ini bukan bahasa Indonesia
seperti yang pemuda zaman dulu sumpahkan. Tidak percaya? Coba lihat kata “yg” ,
“kmps” , “rmh” di KBBI ada tidak? Tapi coba lihat kata “yang” , “kampus” ,
“rumah” . Mirisnya lagi ada juga yang menyingkat kata mengatasnamakan keefektifan tulisan.
Padahal, seharusnya kita bangga dengan
keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kedua di negara Vietnam sejak
akhir 2007. Dengan begitu senada rasanya ungkapan Agus Dharma, Kepala Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud bahwa bahasa merupakan lambang
jati diri bangsa, kebanggaan nasional dan sarana pemersatu bangsa” (28/10) kompas.com
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
budaya yang telah dijalankan terus-terusan sangat susah untuk diubah. Jangankan
kita sebagai anak muda, orang tua dan bahkan pejabat sekalipun masih sering
menyingkat kata dalam berbahasa. Padahal ketika masa penjajahan perlu diingat
bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang diperjuangkan para pahlawan kita.
Tidak tanggung tanggung, nyawa adalah taruhan ketika bahasa Indonesia
diperjuangkan.
Tetapi sedikit demi sedikit sesungguhnya
kita bisa mengurangi kebiasaan itu. Mulai dari hal yang sederhana saja seperti
pengetikan sms dan penyampaian informasi di media jejaring sosial. Jangan
terpengaruh dengan menempatkan pengetikan SMS menjadi indikator utama dalam
Bahasa Indonesia.Jangan menyia-nyiakan sumpah yang telah dibuat oleh pemuda
pemudi 84 tahun yang lalu.
*akan ditebitkan di fokal.info edisi 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar